Beberapa waktu lalu, saat salah satu anak magang di kantor sedang menyusun berkas pendukung pendaftaran CPNS, iseng-iseng saya melihat ijazahnya dan kemudian terkejut karena ternyata kami sama-sama alumni Makassar walau gak satu kampus.
Pantas aja kami gak pernah bertemu, rupanya ia baru mulai kuliah beberapa tahun setelah saya lulus. Lalu saya pun menyebutkan nama-nama teman satu angkatan saya yang kebetulan satu kampung dengannya. Dan ia balas dengan menyebut nama seseorang yang entah mengapa membuka luka lama di hati saya yang sialnya sampai saat ini belum sembuh juga.
Saya dan si dia yang udah menggoreskan luka itu udah cukup lama gak bertemu. Setiap ada momen yang seharusnya bisa membuat kami bertemu, ada aja alasan yang membuat kami gak bisa hadir di momen itu. Ya, saya dan dia adalah teman sekelas saat SMA. Saat kuliah, kami memilih untuk kuliah di kota yang sama walau beda kampus.
Entah mengapa perkataannya (yang mungkin dianggapnya biasa aja) belasan tahun lalu itu masih membekas banget di hati saya. Dia mungkin udah lupa pernah melontarkan kalimat menyakitkan itu, tapi saya gak akan pernah lupa, saking dalamnya tohokan kalimat menyakitkan itu. Sampai saat ini saya masih bertanya-tanya apakah yang membuatnya tega melontarkan kalimat menyakitkan itu pada saya? Rasa-rasanya saya gak pernah melakukan sesuatu yang melukai hatinya.
Baca Juga: Ketika Rasa Iri Datang Menghampiri
Kini saya paham, mengapa kita selalu diminta untuk menjaga lisan karena ternyata luka akibat lisan itu memang lebih menyakitkan dan traumatis. Kita gak pernah tahu seberapa dalam dan menyakitkan luka yang kita tinggalkan pada korban perkataan kita. Luka akibat pisau pasti dapat diobati dan bekasnya bisa hilang seiring berjalannya waktu, tapi luka yang ditimbulkan akibat kata-kata bisa jadi gak akan pernah sembuh.
Ini menjadi pelajaran yang penting banget buat saya. Karena udah pernah merasakan gimana sakitnya menjadi korban keteledoran lisan seseorang, saya jadi gak pengen orang lain merasakan hal serupa. Setiap kali berkata-kata, saya usahakan untuk memilih diksi yang baik yang gak menyinggung, walau harus saya akui beberapa kali pernah "keseleo lidah" dan setelahnya hati menjadi gelisah. Hati saya seperti udah tersetting otomatis bakalan merasa gak enak dan gelisah bila menyadari ada kalimat yang kurang pantas saya ucapkan pada lawan bicara. Hati saya baru agak enakan setelah memohon maaf dan mendapatkan maaf dari si lawan bicara.
Menjaga bibir agar selalu mengucapkan kalimat-kalimat yang menenteramkan hati memang sulit, tapi bila dibiasakan pasti bisa. Sampai saat ini saya masih terus belajar untuk menjaga lisan, sebisa mungkin mengucapkan kalimat yang baik dan berusaha mengerem mulut agar gak mengucapkan kalimat yang menimbulkan luka.
So, buat pembaca yang sekiranya pernah saya lukai hatinya baik lewat perbuatan, lisan maupun tulisan, dengan penuh kerendahan hati saya memohon untuk dibukakan pintu maaf 🙏🙏